Cari Blog Ini

media inspirasi

Sabtu, 31 Maret 2012

REVITALISASI PERAN PEMUDA DALAM AKSELERASI PEMBANGUNAN DAERAH


Dalam rancangan Undang-undang tentang kepemudaan, definisi pemuda adalah orang yang berusia 18 s.d 35 tahun. Tentu penetapan margin usia ini telah melampaui kajian akademis untuk mendapatkan rumusan yang tepat bagi kondisi demografi kepemudaan di tanah air. Berdasarkan data Susenas 2006, jumlah pemuda Indonesia tahun 2006 mencapai 80,8 juta jiwa atau 36,4 persen dari total penduduk yang terdiri dari 40,1 juta pemuda laki-laki dan 40,7 juta pemuda perempuan. Jika dilihat menurut daerah tempat tinggal, tampak bahwa pemuda yang tinggal di pedesaan jumlahnya lebih banyak daripada pemuda yang tinggal di perkotaan (43, 4 juta berbanding 37, 4 juta).

Dengan jumlah yang amat besar tersebut, maka peran strategis pemuda dalam pembangunan nasional sangatlah penting spesifikasinya dalam pembangunan daerah. Hal ini telah dibuktikan di dalam berbagai kiprah pemuda seiring dengan perjalanan dan denyut jantung kehidupan suatu bangsa. Oleh sebab itulah diskursus-diskursus tentang kiprah pemuda di berbagai lini kehidupan bangsa tidak akan pernah habis dan mati.

Peranan pemuda dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia memang bersifat dominan dan monumental. Di era pra-kemerdekaan maupun di era kemerdekaan, pemuda selalu tampil dengan jiwa dan semangat kepeloporan, perjuangan, dan patriotismenya untuk mengusung perubahan dan pembaharuan. Karya-karya monumental para pemuda Indonesia itu dapat ditelusuri melalui peristiwa bersejarah antara lain; Boedi Oetomo (20 Mei 1908) yang kemudian diperingati sebagai Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928), Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945), transisi politik 1966, di mana para pemuda dan mahasiswa mempelopori sebuah perubahan politik yang dramatis, mengantarkan munculnya era Orde Baru yang tergabung dalam KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), dan sebagainya, serta Gerakan Reformasi 1998 yang lumrah kita sebut Tragedi Semanggi (Berakhirnya rezim Soeharto).

Secara umum terdapat dua sudut pandang yang membuat posisi pemuda strategis dan istimewa yaitu kualitatif dan kuantitatif:

Secara Kualitatif, pemuda memiliki idealisme yang murni, dinamis, kreatif, inovatif, dan memiliki energi yang besar bagi perubahan sosial. Idealisme yang dimaksud adalah hal-hal yang secara ideal mesti diperjuangkan oleh para pemuda, bukan untuk kepentingan diri dan kelompoknya, tetapi untuk kepentingan luas demi kemajuan masyarakat, bangsa dan negara.

Secara Kuantitatif, terlihat bahwa jumlah penduduk Indonesia saat ini lebih dari 210 juta orang. Menurut data terakhir Depdiknas terkait dengan jumlah tersebut, bahwa apabila kelompok yang dikategorikan generasi muda atau yang berusia diantara 18–35 tahun, diperkirakan berjumlah lebih dari 80,8 juta jiwa atau 36.4 persen dari jumlah penduduk seluruhnya. Sebagian besar dari kelompok usia ini adalah tenaga kerja produktif yang mengisi berbagai bidang kehidupan. Karenanya bisa dipahami bahwa pemuda berpeluang menempati posisi penting dan strategis, sebagai pelaku-pelaku pembangunan maupun sebagai generasi penerus untuk berkiprah di masa depan.

Dalam bidang politik, pemuda telah menunjukkan kontribusi konkrit dalam mensukseskan proses demokratisasi bangsa. Tugas berat kini adalah mengusung untuk termanifestasikannya agenda-agenda reformasi dan demokratisasi bangsa dalam pembangunan daerah sebagai amanah yang harus diemban.

Pemuda Indonesia harus berani melakukan otokritik, sekaligus membenahi diri, meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya, dan siap berkiprah di tengah-tengah masyarakat, mewarnai di berbagai lini kehidupan bangsa. Bangsa ini membutuhkan peran dan sumbangsih kalangan pemuda secara nyata, sehingga tentu sesungguhnya tugas dan peran pemuda tidaklah ringan. Pemuda Indonesia diharapkan mampu mengambil setiap peluang yang ada dan memanfaatkannya secara baik, demi kemajuan bangsa. Masa depan bangsa ini terletak di tangan pemuda karena pemuda adalah Agen Peubah (Agent of Change) dan Agen Analisis (Agent of Analysis), yang senantiasa memprakarsai perubahan-perubahan untuk kemaslahatan dan menganalisis problematika bangsa kita.

Pemuda yang kemudian akan menjadi pemimpin bangsa di masa mendatang sudah harus dipersiapkan dengan baik dan matang, sehingga peran pemuda hendaklah direvitalisasi sejak dini, sebab dalam sebuah kepemimpinan dibutuhkan integritas, kapasitas, juga pengalaman dan kematangan emosional. Ujung dari semua itu adalah kebijaksanaan (wisdom) dan kebijakan (policy). Hal krusial dalam permasalahan ini adalah bagaimana seorang pemimpin muda mampu memutuskan kebijakan secara bijak, cepat dan tepat, berdampak bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat dalam membangun daerah, dan itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan konteks usia, bagi mereka yang mampu boleh bersaing dalam percaturan politik bangsa untuk memimpin Negara ini menuju pencitraan yang lebih baik.

Jadi, yang harus dilakukan pemuda adalah mempersiapkan diri dalam proses pengkaderan kepemimpinan bangsa, yang dapat dilakukan melalui beragam penempaan diri. Pemuda harus memiliki sejumlah kriteria, antara lain: kemampuan (ability), kapasitas (capacity), keahlian/kecakapan (skill) dalam berkomunikasi, memotivasi, dan yang lainnya adalah; pengetahuan/wawasan (knowledge); pengalaman (experience); kemampuan mengembangkan pengaruh (influence); kemampuan menggalang solidaritas (Solidarity maker); serta kemampuan memecahkan masalah (decision making).

Memiliki integritas (integrity), yakni memiliki kepribadian yang utuh/berwibawa (kharisma); bijaksana (wisdom); bersikap empatik; memiliki prinsip-prinsip yang utama dalam hidupnya; menjadi panutan (kelompok referensi utama); serta, mampu mengutamakan kepentingan lebih besar, ketimbang kepentingan kecil dan sempit (negarawan). Di atas semua itu, seorang pemimpin harus totalitas dalam mengerahkan segenap potensi yang ada pada dirinya untuk kemajuan organisasi (prinsip totality) lebih jauh dalam membangun daerah dengan potensi SDM dan SDA yang ada.

Para pemuda yang tergerak di bidang politik, harus paham betul bahwa politik merupakan panggilan dan memiliki tujuan mulia, maka konsekuensinya, setiap politisi harus memiliki visi politik yang kuat serta komitmen yang tinggi atas prinsip-prinsip politik yang dianutnya; mampu memanfaatkan sumberdaya politik yang ada secara optimal; bertindak berdasarkan kalkulasi politik yang rasional dan logis; serta mampu menghadirkan kebijakan-kebijakan politik yang produktif (bukan kontraproduktif) yang akhir-akhir ini sudah memudar.

Bagaimanapun, pemuda adalah potensi kepemimpinan bangsa masa depan. Atas kesadaran itu, maka kaderisasi-kaderisasi kepemimpinan yang melibatkan kalangan pemuda secara intensif perlu terus ditingkatkan. Akan tetapi peran pemuda dalam roda pemerintahan tetaplah krusial. Banyak contoh di berbagai Negara, dimana titik tolak perubahan justru berawal dari perjuangan pemuda. Setidaknya ada dua rahasia besar kekuatan pemuda, yaitu kekuatan personal dan keunggulan mengorganisasi kekuatan. Al-qur’an mengabadikan keunggulan personal pemuda yang mempunyai sifat qowiyyun amiin (kuat dan dapat dipercaya), hafiidzun aliim (amanah dan berpengetahuan luas), bashthotan fil ‘ilmi wal jism (kekuatan ilmu dan fisik), ra’uufun rohiim (santun dan pengasih). Sifat-sifat unggul tersebut merupakan potensi besar, yang menumpuk pada individu pemuda, dimana masyarakat sangat mengharapkannya.

Rahasia berikutnya adalah keunggulan mengorganisasi kekuatan. Ada setidaknya lima faktor prinsip yang dipegang pemuda, dalam mengorganisasi kekuatan mereka, yaitu:

Kekuatan asas perjuangan

Kekuatan konsep dan metode perjuangan

Kekuatan persatuan

Kekuatan sikap dan posisi perjuangan

Kekuatan aksi dan opini: memiliki isu sentral, konsistensi misi, imun dalam perjuangan, kesinambungan aksi dan opini.

Lihatlah keadaan hari ini, dimana pembangunan fisik dan mental negeri bergerak sangat lambat. Banyak bangunan sekolah yang sudah tidak layak pakai, masih juga belum diperbaiki, padahal keadaan itu sudah berlangsung lama. Atau proyek jalan tol yang terbengkalai bertahun-tahun. Belum lagi masalah kualitas pendidikan kita, yang hampir semuanya berorientasi membentuk kuli. Ini hanya secuil bagian dari besarnya masalah dalam pembangunan negeri ini.

Lalu bagaimana harusnya sikap pemuda? Setidaknya ada beberapa fakta yang mesti diperhatikan para pemuda, sebagai agen akselerator transformasi. Pemuda, adalah kelompok usia produktif yang memiliki potensi yang sama untuk mendapatkan status sosial ekonomi yang relatif mapan dan akan masuk ke dalam kelas menengah. Padahal, peran elit (the rolling class) dan kelas menengah (middle class) sangat siginifikan dalam menggerakkan dan mengarahkan perubahan sosial, sebagai salah satu pilar pembangunan. Dan, The Rolling Class ini dibentuk dari kelas menengah, yang terdiri dari kelompok-kelompok strategis dari kalangan intelektual, pengusaha, birokrat dan militer. Untuk melakukan mobilitas vertikal dan masuk ke dalam kelas menengah haruslah berbasis kompetensi, bukan patronase politik.

Kenyataan di atas secara otomatis melahirkan agenda strategis, dalam rangka mempelopori akselerasi pembangunan ini. Agenda tersebut tidak lain adalah mengelola dengan baik dan profesional seluruh insitusi kepemudaan (seperti HMI, PMII, IPNU, IMM, GMNI dsb), sebagai sarana perekrutan pemuda-pemuda potensial Indonesia dalam usia produktif. Selanjutnya, penguatan kelas menengah pemuda sebagai kandidat elit (the rolling class) dalam konteks sirkulasi kepemimpinan lokal dan nasional.

Dalam tataran aplikasinya, untuk saat ini, aktivis pelajar dan mahasiswa bisa bergabung dalam organisasi Massa. Lebih mengkerucut lagi, bisa ormas politik. Dimulai dari aktivitas-aktivitas politik organisasi di kampus seperti BEM dan UKM atau di Sekolah seperti OSIS, MPK dan Pramuka. Untuk pemuda yang sudah tidak lagi mahasiswa, mereka bisa berkecimpung lebih dalam di organisasi-organisasi keprofesian yang independen. Ini semua tidak lain adalah untuk mempertajam kompetensi dan profesionalisme, agar ketika mereka sudah menjadi bagian dalam the rolling class, mereka sudah siap.

Dengan kesiapan para pemuda menjalani the rolling class, akselerasi pembangunan dapat dimaksimalkan. Harapan ini tentulah bukan sebuah khayalan. Sejarah Indonesia sendiri telah menghasilkan individu-individu yang membanggakan, contohnya, M. Natsir. Percepatan pembangunan harus dimulai dengan perubahan mental dan cara berfikir. Walaupun pemerintahan saat ini sudah on the track, tapi jalannya masih lambat. Dengan kematangan mental dan perbedaan cara berfikir yang segar, the next rolling class siap membantu dan mengakselerasi pembangunan negeri dalam hal ini adalah pemuda.

Konteks Peran Pemuda dalam Memanifestasikan Perubahan Bangsa, pemuda hendaknya tidak lagi hanya terpaku pada persoalan-persoalan lokal dan nasional, tetapi tanpa menyadari konteks internasional. Ajakan John Nesbit perlu dilakukan: yaitu "Think Globally, Act Locally" bahwa walaupun kita bertindak lokal (nasioanal), tetapi cara berpikirnya adalah global. Bahwa pemuda hidup di dalam komunitas internasional, yang sedkit banyak akan membawa pengaruh bagi dinamika aneka kehidupan lokal dan nasional.

REJUVENASI KIPRAH PEMUDA


Kiprah pemuda-pemuda di masa lampau dilatar belakangi oleh kondisi pribumi yang sangat memprihatinkan. Kondisi tersebut merupakan gambaran hidup pribumi yang jauh dari nilai-nilai kemanusian yang seharusnya dimiliki oleh setiap manusia. Periode suram itu diawali dengan sistem kolonialisme yang diterapkan oleh Belanda. Hal ini diindikasikan dengan keberadaan V.O.C sebagai konsi dagang ciptaan Belanda di wilayah yang dalam peristilahanEthnoloog Jerman Bastian disebut sebagai Indonesia (Pasang Naik Kulit Berwarna, 1966: 275). Keberadaan V.O.C tersebut semakin melemahkan aktivitas pribumi terutama di bidang perdagangan dan ekspor. Kondisi ini semakin diperparah dengan kebijaksanaan Cultuur Stelsel yang diletakkan oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1615. Sistem ini sangat merugikan rakyat karena membuat rakyat sulit mengembangkan ilmu pengetahuan terutama ilmu pertanian. Sistem ini bertahan sampai awal abad 20. Namun, pemerintahan kolonial menerapkan kebijaksanaan membangun infrastruktur pendidikan yang dikenal dengan
Politiek Ethis (politik balas budi) pada tahun 1901. Ini digunakan sebagai maneuver
politik untuk mengendalikan suasana rakyat pada saat itu. Hanya saja, kebijaksanaan tersebut ternyata tetap menyusahkan rakyat. Sebab untuk mengakses pendidikan, rakyat harus membayar dengan biaya yang mahal sedangkan rakyat telah berada dalam kondisi miskin. Sehingga, infrastruktur tersebut hanya bisa dinikmati oleh anak- anak Belanda dan sedikit dari kaum ningrat pribumi.
Dua kebijaksanaan tersebut telah menyebabkan pribumi berada pada posisi kelas terbawah dari strata sosial masyarakat pada saat itu. Posisi kedua di tempati oleh kaum ningrat pribumi dan pendatang-pendatang dari Asia seperti Cina, India dan Arab, dan yang menempati kelas teratas adalah Bangsa Eropa yang pada saat itu menguasai aset-aset pribumi.. Namun kaum ningrat yang bisa mengenyam pendidikan itu kemudian “mengkritik” realitas yang terjadi pada kaumnya. Beberapa diantara kaum terdidik yang memiliki kepedulian untuk memperbaiki kondisi pribumi pada saat itu ialah
1Penulis adalah Kepala Presidium Harian Gerakan Mahasiswa dan Masyarakat Banten Raya
(GEMA BARAYA), Cp : 085692866833
Dr. Soetomo. Bersama beberapa sahabatnya membuat suatu organisasi pergerakan Boedi Oetomo yang menekankan pada peningkatan pendidikan gratis bagi kaum pribumi. Suasana kehidupan itu mencerminkan bahwa Hal ini mencerminkan bahwa harkat dan martabat hidup pribumi belum terangkat. Sehingga, tujuan digulirkannya Boedi Oetomo adalah untuk mengangkat harkat dan martabat hidup kaum pribumi (rakyat). Ini merupakan sikap pemuda yang diambil sebagai bentuk kepedulian. Setelah 12 tahun kemudian yaitu tepatnya pada tanggal 2 Mei 1920 gerakan itu dilanjutkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan membangun pendidikan Taman Siswo yang lebih formal tetapi tetap gratis. Tujuan dibangun Taman Siswo adalah untuk menumbuhkan karakter kepemimpinan di kalangan pribumi. Pergerakan pemuda ini pada akhirnya bermuara pada kongres pemuda ke dua pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menggulirkan Sumpah Pemuda. Kongres ini merupakan prakarsa dari berbagai jong yang ada di wilayah Indonesia seperi jong Java, jong Borneo, jong Celebes, jong Ambon, jong Batak Bond, jong Sekar Rukun, jong Islaminten Bond dan jong-jong lainnya. Pernyataan Sumpah Pemuda adalah bertumpah darah yang satu tanah Indonesia, berbangsa yang satu bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Isi sumpah pemuda tersebut merupakan buah karya pemuda yang merepresentasikan wilayah sebagai usaha dalam mewujudkan integrasi nasional untuk merealisasikan komitmen mengangkat harkat dan martabat hidup rakyat. Jauh dari pada itu, momentum ini merupakan titik kelahiran bangsa Indonesia.
Komitmen untuk mengangkat harkat dan maratabat hidup rakyat Indonesia itu kemudian menjadi komitmen bangsa Indonesia seluruhnya. Hal ini terus digulirkan sehingga menghasilkan berbagai peristiwa sebagai pilar sejarah yang terintegrasi dan berkelanjutan. Sebagaimana kita ketahui, dalam persidangan BPUPKI, Pancasila ditetapkan sebagai dasar dibangun Indonesia merdeka. Maknanya, Pancasila merupakan sarana dalam menegakkan komitmen nasional tersebut. Maka dapat dipastikan bahwa Pancasila adalah interpretasi dari komitmen untuk mengangkat harkat dan martabat hidup Bangsa Indonesia. Sehingga, Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan upaya untuk menegakkan Pancasila. Konvergenitas perjuangan itu mengerucut pada pembentukan NKRI pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan UUD 1945 sebagai konstitusi RI dengan
tujuan/komitmen yang tidak berubah. Komitmen tersebut kemudian dialih bahasakan
menjadi Kedaulatan Rakyat (Preambule UUD 45 alinea ke empat).
Jika kita cermati perjalanan sejarah perjuangan kebangsaan dalam mewujudkan tujuan nasional, terlihat jelas bahwa pemuda pergerakan telah memberikan kontribusi yang besar dan mengagumkan. Simpul-simpul sejarah bangsa adalah bukti kongkret dari upaya pemuda dan seluruh Bangsa Indonesia.
Terlepas dari simpang siur sejarah selama ini, dinamika pergerakan pemuda di masa- masa lalu tetap bisa dijadikan pelajaran untuk meneladani keluhuran cita-cita dan tekad yang kuat untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Tentu harus ada koreksi dan perbaikan secara cerdas dan bijak agar proses dialektika tetap berjalan.
Realitas Kehidupan Pemuda Saat Ini
Pasca reformasi tahun 1998, pemuda mengalami banyak kecenderungan. Ini bisa kita amati dari beragam warna kehidupan yang dipilih. Jika dulu pemuda benar-benar tulang punggung bangsa yang menorehkan beragam prestasi dalam memperjuangkan tujuan nasional, pemuda saat ini kurang begitu dinamis. Banyak hal yang menyebabkan hal tersebut. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ruang gerak yang terkoptasi selama ini telah mengubah arah pemikiran para pemuda. Kebanyakan pemuda menjadi “terpaksa” menggulirkanmainstrea m kebencian terhadap pemimpin negeri sendiri. Kekuatan pemuda seakan digunakan untuk menggerakkan pencapaian tujuan yang tersubordinasi oleh berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu di bangsa ini. Arah perjuangan menjadi kabur. Sekarang pemuda dihadapkan pada dua hal yang dilematis. Memilih idealisme atau pikiran pragmatis dalam menghadapi hidup.
Kita tidak bisa memberi justifikasi atas hal ini, karena kenyataan hidup telah meruntuhkan ruang etis kiprah pemuda. Tetapi, tidak berarti pemuda lantas berpangku tangan dalam menyikapi realitas hidup yang serba tidak pasti saat ini. Pemuda tetap memiliki potensi yang masih bisa menggerakkan proses dialektika perjuangan dengan tetap mengacu pada tujuan nasional. Potensi itu tercermin dari masih adanya organisasi-organisasi kepemudaan di Indonesia. Untuk itu, organisasi-organisasi tersebut sudah selayaknya menjadi instrumen pembelajaran bagi para pemuda dalam meneruskan cita-cita kebangsaan dan kenegaraan. Pemuda harus tetap berkeyakinan bahwa proses dialektika akan menemui titik singgung yang mencerahkan masa depan.

my friend to knpi

my friend to knpi