Kiprah
pemuda-pemuda di masa lampau dilatar belakangi oleh kondisi pribumi yang sangat
memprihatinkan. Kondisi tersebut merupakan gambaran hidup pribumi yang jauh
dari nilai-nilai kemanusian yang seharusnya dimiliki oleh setiap manusia.
Periode suram itu diawali dengan sistem kolonialisme yang diterapkan
oleh Belanda. Hal ini diindikasikan dengan keberadaan V.O.C sebagai konsi dagang
ciptaan Belanda di wilayah yang dalam peristilahanEthnoloog Jerman Bastian
disebut sebagai Indonesia (Pasang Naik Kulit Berwarna, 1966: 275). Keberadaan V.O.C tersebut
semakin melemahkan aktivitas pribumi terutama di bidang perdagangan
dan ekspor. Kondisi ini semakin diperparah dengan kebijaksanaan Cultuur Stelsel yang
diletakkan oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1615. Sistem ini
sangat merugikan rakyat karena membuat rakyat sulit mengembangkan ilmu pengetahuan
terutama ilmu pertanian. Sistem ini bertahan sampai awal abad 20. Namun,
pemerintahan kolonial menerapkan kebijaksanaan membangun infrastruktur pendidikan
yang dikenal dengan
Politiek Ethis (politik balas budi) pada tahun
1901. Ini digunakan sebagai maneuver
politik
untuk mengendalikan suasana rakyat pada saat itu. Hanya saja, kebijaksanaan tersebut
ternyata tetap menyusahkan rakyat. Sebab untuk mengakses pendidikan, rakyat
harus membayar dengan biaya yang mahal sedangkan rakyat telah berada dalam
kondisi miskin. Sehingga, infrastruktur tersebut hanya bisa dinikmati oleh
anak- anak Belanda dan sedikit dari kaum ningrat pribumi.
Dua
kebijaksanaan tersebut telah menyebabkan pribumi berada pada posisi kelas terbawah
dari strata sosial masyarakat pada saat itu. Posisi kedua di tempati oleh kaum ningrat
pribumi dan pendatang-pendatang dari Asia seperti Cina, India dan Arab, dan yang
menempati kelas teratas adalah Bangsa Eropa yang pada saat itu menguasai aset-aset
pribumi.. Namun kaum ningrat yang bisa mengenyam pendidikan itu kemudian
“mengkritik” realitas yang terjadi pada kaumnya. Beberapa diantara kaum terdidik
yang memiliki kepedulian untuk memperbaiki kondisi pribumi pada saat itu ialah
1Penulis
adalah Kepala Presidium Harian Gerakan Mahasiswa dan Masyarakat Banten Raya
(GEMA BARAYA), Cp : 085692866833
Dr.
Soetomo. Bersama beberapa sahabatnya membuat suatu organisasi pergerakan Boedi
Oetomo yang menekankan pada peningkatan pendidikan gratis bagi kaum pribumi.
Suasana kehidupan itu mencerminkan bahwa Hal ini mencerminkan bahwa harkat
dan martabat hidup pribumi belum terangkat. Sehingga, tujuan digulirkannya Boedi
Oetomo adalah untuk mengangkat harkat dan martabat hidup kaum pribumi (rakyat).
Ini merupakan sikap pemuda yang diambil sebagai bentuk kepedulian. Setelah 12
tahun kemudian yaitu tepatnya pada tanggal 2 Mei 1920 gerakan itu dilanjutkan
oleh Ki Hajar Dewantara dengan membangun pendidikan Taman Siswo
yang lebih formal tetapi tetap gratis. Tujuan dibangun Taman Siswo adalah
untuk menumbuhkan karakter kepemimpinan di kalangan pribumi.
Pergerakan pemuda ini pada akhirnya bermuara
pada
kongres pemuda ke dua pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menggulirkan Sumpah
Pemuda. Kongres ini merupakan prakarsa dari berbagai jong yang ada di wilayah
Indonesia seperi jong Java, jong Borneo, jong Celebes, jong Ambon, jong Batak Bond,
jong Sekar Rukun, jong Islaminten Bond dan jong-jong lainnya. Pernyataan Sumpah
Pemuda adalah bertumpah darah yang satu tanah Indonesia, berbangsa yang satu
bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Isi sumpah
pemuda tersebut merupakan buah karya pemuda yang merepresentasikan wilayah
sebagai usaha dalam mewujudkan integrasi nasional untuk merealisasikan komitmen
mengangkat harkat dan martabat hidup rakyat. Jauh dari pada itu, momentum
ini merupakan titik kelahiran bangsa Indonesia.
Komitmen
untuk mengangkat harkat dan maratabat hidup rakyat Indonesia itu kemudian
menjadi komitmen bangsa Indonesia seluruhnya. Hal ini terus digulirkan sehingga
menghasilkan berbagai peristiwa sebagai pilar sejarah yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Sebagaimana kita ketahui, dalam persidangan BPUPKI, Pancasila ditetapkan
sebagai dasar dibangun Indonesia merdeka. Maknanya, Pancasila merupakan
sarana dalam menegakkan komitmen nasional tersebut. Maka dapat dipastikan
bahwa Pancasila adalah interpretasi dari komitmen untuk mengangkat harkat dan
martabat hidup Bangsa Indonesia. Sehingga, Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan upaya untuk menegakkan Pancasila.
Konvergenitas perjuangan itu mengerucut pada pembentukan NKRI pada tanggal
18 Agustus 1945 dengan UUD 1945 sebagai konstitusi RI dengan
tujuan/komitmen yang tidak berubah.
Komitmen tersebut kemudian dialih bahasakan
menjadi Kedaulatan Rakyat (Preambule
UUD 45 alinea ke empat).
Jika
kita cermati perjalanan sejarah perjuangan kebangsaan dalam mewujudkan tujuan nasional,
terlihat jelas bahwa pemuda pergerakan telah memberikan kontribusi yang besar
dan mengagumkan. Simpul-simpul sejarah bangsa adalah bukti kongkret dari upaya
pemuda dan seluruh Bangsa Indonesia.
Terlepas
dari simpang siur sejarah selama ini, dinamika pergerakan pemuda di masa- masa
lalu tetap bisa dijadikan pelajaran untuk meneladani keluhuran cita-cita dan
tekad yang kuat untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.
Tentu harus ada koreksi dan perbaikan secara cerdas dan bijak agar proses dialektika
tetap berjalan.
Realitas Kehidupan Pemuda Saat Ini
Pasca
reformasi tahun 1998, pemuda mengalami banyak kecenderungan. Ini bisa kita amati
dari beragam warna kehidupan yang dipilih. Jika dulu pemuda benar-benar tulang punggung
bangsa yang menorehkan beragam prestasi dalam memperjuangkan tujuan nasional,
pemuda saat ini kurang begitu dinamis. Banyak hal yang menyebabkan hal tersebut.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ruang gerak yang terkoptasi selama ini telah
mengubah arah pemikiran para pemuda. Kebanyakan pemuda menjadi “terpaksa” menggulirkanmainstrea
m kebencian terhadap pemimpin negeri sendiri. Kekuatan pemuda
seakan digunakan untuk menggerakkan pencapaian tujuan yang tersubordinasi
oleh berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu di bangsa ini. Arah perjuangan
menjadi kabur. Sekarang pemuda dihadapkan pada dua hal yang dilematis. Memilih
idealisme atau pikiran pragmatis dalam menghadapi hidup.
Kita
tidak bisa memberi justifikasi atas hal ini, karena kenyataan hidup telah meruntuhkan
ruang etis kiprah pemuda. Tetapi, tidak berarti pemuda lantas berpangku tangan
dalam menyikapi realitas hidup yang serba tidak pasti saat ini. Pemuda tetap memiliki
potensi yang masih bisa menggerakkan proses dialektika perjuangan dengan tetap
mengacu pada tujuan nasional. Potensi itu tercermin dari masih adanya organisasi-organisasi
kepemudaan di Indonesia. Untuk itu, organisasi-organisasi tersebut
sudah selayaknya menjadi instrumen pembelajaran bagi para pemuda dalam meneruskan
cita-cita kebangsaan dan kenegaraan. Pemuda harus tetap berkeyakinan bahwa
proses dialektika akan menemui titik singgung yang mencerahkan masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar